Sabtu, 23 April 2011

PROSES PEMBENTUKAN KATA

RAGAM KATA

1.  Tembung Lingga
Tembung lingga atau kata dasar, dalam istilah linguis dikenal dengan nama leksem ‘ lexeme’ sebagai satuan dasar dalam leksikon. Leksem adalah bahan dasar yang setelah mengalami proses pengolahan gramatikal menjadi kata dalam subsistem gramatika (Harimurti Kridalaksana , 1989 ; 9). Dalam kebahasaan Jawa tembung lingga itu ada dua macam yaitu :

1.1. tembung lingga lugu yakni leksem Jawa asli yang terdiri dari dua suku kata, meskipun kemudian muncul kata serapan dari luar  yang juga terdiri dari dua suku kata, dari berbagai macam bahasa seperti ;
1) bahasa Arab, niyat, kertas, nisbat, wujud, ngalam, dsb.
2) Sansekerta,  darma, budi, sastra, agra, wignya dsb.
3) Portugis,   jendhéla, méja, selop, sepatu dsb.
4) Belanda,  potlot, pulpèn, anèmer, beslit, bergoteng dsb
5) Inggris,  buku, bolpoin, pèn, pènsil dsb
6) Melayu, trebis, ubarampé, dsb
7) Cina, soto, angkin, tahu, lotèng, lumpia dsb.
8) Parsi, dhestar
9) Indhia, goni

1.2. tembung Wod yakni tembung Jawa asli yang hanya satu sukukata, misalnya ; lung, lur,lir, syuh, sung, rih, ris, wrin, wruh dsb.
Keduanya masih dalam bentuk yang asli dan belum ada campur tangan morfem pembentuk kata sebagai lexical formative.
Jadi tembung lingga adalah ;
  1. Satuan  terkecil dalam tembung  andhahan ‘leksikon’.
  2. Satuan leksem yang berperan sebagai bahan baku dalam ngrimbag tembung.
  3. Sebagai  input dalam pangrimbaging tembung.
  4. Bentuk  lepas dan mandiri, setelah disegmentasikan dari bentuk yang kompleks dalam proses morfologis.
  5. e. Tidak  termasuk dalam kategori tembung panyilah, tembung panggandhèng maupun tembung ancer.


2. Tembung lingga andhahan
Dalam paramasastra kata turunan atau derivasi ini disebut tembung lingga andhahan ‘leksikon’. Tembung lingga andhahan ini berasal dari tembung lingga ( lingga lugu / wod) yang telah mengalami pengubahan bentuk karena pengaruh morfem pembentuk kata.
Dan disebut leksikon karena kata bentukan  ini tidak bisa diturunkan lagi ke bentuk baru. Dengan  kata lain bahwa leksikon adalah satuan terkecil dalam gramatikal, leksikon itu tidak bisa diubah lagi kedalam bentuk berikutnya.


3. Tembung andhahan
Tembung andhahan adalah peranti pembentuk kata, fungsi utamanya mengubah leksem menjadi leksikon. Tembung andhahan ini biasa disebut morfem pembentuk kata, yang wujudnya ada tiga macam yaitu ;

3.1. Tembung tambahan
Tembung tambahan atau lebih dikenal dengan sebutan afiks adalah mengubah leksem ‘tembung lingga’ menjadi ‘tembung lingga andhahan’ leksikon yang sangat beragam. Dalam proses afiksasi terdapat empat morfem pembentuk kata, yakni ;

3.1.1. Ater-ater
Ater-ater atau prefix adalah morfem / peranti pembentuk kata yang diletakkan di depan tembung lingga, antara lain : a, ma, ka dak, kok, di, pa, para, pi, pra, mar, mer, mra, ke, sa, tar, aN, N,maN


3.1.2. Seselan
Seselan atau infiks adalah morfem / peranti pembentuk kata yang diletakkan di dalam tembung lingga /kata dasar , seperti ; el, er, in dan um.


3.1.3. Panambang
Panambang atau sufiks adalah morfem /peranti pembentuk kata yang diletakkan di belakang kata dasar, seperti ; a, an, ana, ané, aké, en, é, i, na, nana, né.



3.1.4. Campuran
Campuran adalah morfem ‘afiks ‘ yang terdiri dari dua unsur tetapi dianggap satu morfem, dan morfem ini bukan merupakan kombinasi afiks. Afiks jenis ini disebut konfiks, untuk campuran ater-ater dan panambang. Adapula circumfiks untuk seselan dan panambang


3.2. Tembung rangkep
Tembung rangkep atau reduplikasi yakni mengubah leksem menjadi leksikon baru dalam bentuk pengulangan. Dalam proses morfologis tembung rangkep dibagi menjadi tiga kelompok ;
3.2.1. Dwilingga


a) Dwilingga lugu
Tembung dwilingga lugu atau reduplikasi kata dasar, yaitu mengubah leksem atau leksikon, menjadi leksikon baru dengan cara pengulangan secara utuh, dan tidak mengubah makna dari kata dasarnya seperti ;
  • mlaku-mlaku, dari leksikon mlaku artinya jalan-jalan
  • tuku-tuku, dari leksem tuku artinya beli-membeli

tetapi jika maknanya berubah dari kata dasarnya, maka disebut dwilingga semu,  seperti ;
  • omah-omah, artinya berumah tangga
  • undur-undur, artinya serangga pasir

b) Tembung dwilingga salin swara atau disebut reduplikasi fonem, bentuk kata baru yang dihasilkan tidak mengubah makna. Dalam kebahasaan Jawa ada tiga macam reduplikasi morfofonemik, yaitu ;
(1) Dwilinga salin swara ngarep
Reduplikasi morfofonemik jenis ini hanya mengubah leksem atau leksikon depan. Adapun  untuk leksem atau leksikon belakang tetap sebagaimana aslinya, seperti ;
  • Gelam-gelem, dari leksem gelem artinya mau-mau
  • Mloka-mlaku dari leksikon mlaku artinya berjalan-jalan
  • Ngguya-ngguyu dari leksikon ngguyu artinya tertawa terus.

(2) Dwilingga salin swara buri
Reduplikasi fonem jenis ini hanya mengubah leksem atau leksikon belakang. Adapun  untuk leksem atau leksikon depan tetap  sebagaimana aslinya, seperti ;
  • Sasar-susur, dari leksem sasar artinya keliru
  • Waras- wiris dari leksem waras artinya sehat

(3) Dwilingga salin swara kabèh
Reduplikasi fonem jenis ini hanya mengubah leksem atau leksikon semuanya. Adapun  untuk leksem atau leksikon aslinya hilang, seperti ;
  • Kocang-kacèng, dari leksem kacang
  • Mongan -mèngèn dari leksikon mangan


3.2.2. Dwipurwa
Rimbag dwipurwa adalah reduplikasi morfemis pada suku  kata depan pada tembung lingga ‘ leksem ‘ atau tembung lingga andhahan ‘leksikon’, dengan pelemahan vocal, seperti ;
  • Tetuku dari leksem tuku
  • Memangan dari leksikon mangan



3.2.3. Dwiwasana
Rimbag dwiwasana adalah reduplikasi morfemis pada suku  kata belakang pada tembung lingga ‘ leksem ‘, seperti ;
  • Celuluk dari leksem celuk
  • Jelalat dari leksem jelat


3.3. Tembung camboran
Dalam bahasa Jawa Tembung camboran ini dibagi menjadi dua ;
3.3.1. Camboran
Tembung camboran atau kata majemuk yakni penggabungan dua kata atau lebih menjadi sebuah kata baru dengan sebuah makna baru, jika pemajemukan kata ini dilepas, maka kembali pada makna bentuk semula. Dalam kebahasaan Jawa proses pemajemukan kata ini ada tiga syarat, yakni sebagai ;
a) Basa kinubeng, artinya bahwa dalam proses pemajemukan kata tidak boleh dipertukarkan ‘diwolak-walik’, misalnya pada kata majemuk ‘semar mèsem’ tidak bisa ditukar menjadi mèsem semar, atau nagasari menjadi sarinaga dsb.

b) Basa winates, artinya bahwa tembung camboran ini tidak bisa dirimbag ke bentuk baru berikutnya,  misalnya tembung ;
  • kebo nusu gudèl, (titi tembung) tidak bisa dirimbag lagi menjadi  kebo nusu gudèl mlayu ngidul( titi ukara).

  • Kinepung wakul binaya mangap tidak bisa disipi kata lain menjadi kinepung wakul, binaya mangap-mangap.

c) Tidak bisa disisipi kata apapun, misalnya dalam tembung ;
  • emprit ambuntut arit tidak bisa disisipi kata lain menjadi emprité mabur buntuté dikanthèni arit.
  • Semar mendem tidak bisa disipi kata lain menjadi semaré saiki lagi mendem.
  • Kodhok ngorèk tidak bisa disisipi kata lain menjadi kodhoké yèn mangsa udan padha ngorèk.
  • Tut wuri handayani, tidak bisa disisipi dengan kata lain menjadi yèn wong ngetut ana mburi iku kudu mèlu handayani.


3.3.2. Wancahan
a) Tembung wancah, atau pemenggalan kata pada satu atau beberapa leksem sehingga menjadi bentuk baru yang memunyai kedudukan sebagai kata baru, misalnya ;
  • Ndorit kependekan dari bendo karo arit
  • Kakkong kependekan dari tungkak tekan bokong
  • Lunglit kependekan dari balung karo kulit
  • Pakbomba kependekan dari tapak kebo amba

Dalam  kebahasaan Jawa didapati tembung wancah (abreviasi) seperti :
  • SISKS     swargi ingkang sinuwun kanjeng susuhunan
  • KGPH    kanjeng gusti pangéran harya
  • KPH       kanjeng pangéran harya
  • GBPH    gusti bandara pangéran harya
  • KRMT    kanjeng radèn mas Tumenggung
  • KRT       kanjeng radèn Tumenggung
  • RMNg   radèn Mas Ngabèhi
  • MNg     mas ngabèhi
  • RM        radèn mas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar